Mantan Ketua MPR RI, Amien Rais |
Blessing in disguise. Berkah tersembunyi. Publik tentu belum lupa, kalimat pendek inilah yang pertamakali menjadi jawaban spontan Amien Rais ketika menyambut tuduhan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tuduhan itu dibacakan JPU pada Sidang Tuntutan Siti Fadilah Supari terkait korupsi alkes pada 31 Mei 2017. Sebagaimana juga yang telah dirilis dalam kesimpulan berita Kompas.com (13/06/2017, 14:37 WIB) "Diberitakan sebelumnya, dalam persidangan jaksa KPK menyebut Amien menerima enam kali pemberian uang yang jumlah totalnya sebesar Rp 600 juta. Uang tersebut berasal dari keuntungan perusahaan swasta yang ditunjuk langsung oleh Siti Fadilah untuk menangani proyek pengadaan alat kesehatan di Kemenkes."
Kegaduhan di jagat pemberitaan tak terhindarkan. Betapa tidak, Amien Rais adalah Bapak Reformasi yang berjasa besar melahirkan KPK. Dasar hukum pendirian KPK adalah UU No. 31 tahun 1999, baru setahun era reformasi berjalan. Tragisnya, tuduhan itu seperti memang sedang didesain demikian rupa, sehingga ketika Amien Rais ingin menjelaskan secara langsung, pimpinan KPK melalui jubirnya dengan tegas menolak. Penolakan itu bahkan telah dilansir media sehari sebelum Amien Rais benar-benar datang bertandang ke kantor KPK.
Segala bantahan Amien Rais pun seolah angin lalu. Secepat kilat, tuduhan KPK menyebar ke segala penjuru jagat pemberitaan. Tetapi dalam waktu yang tak kalah cepat, dukungan publik yang sangat percaya kepada integritas Amien Rais pun mengalir deras. Fahri Hamzah, Wakil Ketua DPR RI, bahkan menulis twit yang begitu panjang dengan tagar #AkuAmienRais. Gayung bersambut, tanpa kehadiran Amien Rais di persidangan Siti Fadilah Supari karena sedang menunaikan ibadah umroh di Tanah Suci Mekkah, blessing in disguese itu pun muncul.
Dalam amar putusannya hari ini, 16 Juni 2017, Majelis Hakim mengesampingkan seluruhnya, atau mengabaikan segala dugaan JPU tentang dana 600 jt yang disebut mengalir ke rekening Amien Rais. "Bahwa uang ke Soetrisno Bachir dan Amien Rais tidak dapat dipastikan dari proyek alkes atau bukan. Sehingga, majelis tidak akan mempertimbangkan lebih lanjut, karena tidak relevan," ujar anggota majelis hakim Diah Siti Basariah. (Kompas.com)
Siapa yang bisa menduga-duga lagi, ketika bunyi vonis Majelis Hakim terang benderang seperti itu? Saya yakin, KPK pun tidak. Meskipun Siti Fadilah Supari akhirnya dihukum 4 tahun, tetapi Majelis Hakim menolak relevansi nama Amien Rais di dalam putusannya. tentu, suara bulat Majelis Hakim ini menjadi pukulan telak kepada JPU KPK dan atau Pimpinan KPK, agar tidak serampangan menduga-duga. Apalagi terhadap seseorang yang sangat dipecaya publik kebersihannya.
Karena akan dapat secara langsung mencoreng-moreng marwah semangat perjuangan pemberantasan korupsi di depan persidangan yang mulya. Meskipun pahit, segala tuntutan untuk keadilan luhur harus bisa disuarakan tanpa tekanan dari pihak manapun. Meminjam ucapan Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (43 SM), seorang politisi Yunani. "Hendaknya keadilan ditegakkan, walaupun langit akan runtuh." Fiat justitia ruat caelum
Semangat Amien Rais membongkar kasus-kasus besar yang mendera negeri ini, pun sampai hari ini tak sedikitpun susut. Bahkan, dengan khas gaya bicaranya yang kocak dan blak-blakan, Amien Rais menantang Menteri Maritim, Luhut Panjaitan, agar bersedia beradu dalih secara terbuka tentang mega-proyek Reklamasi Teluk Jakarta yang ditengarai sangat berpotensi merahimi skandal busuk korupsi, dan oleh karena itu harus segera dihentikan. Sebelum menjadi malapetaka besar. Melukai kepentingan rakyat seluruhnya. "Kalau argumen kami dipatahkan, silakan reklamasi lanjut. Tapi kalau Pak Luhut dan keliru seperti apa yang disampaikan Mas Anies (Baswedan) dan Sandiaga Uno, dihentikan reklamasi itu. Kemudian semua kembali ke kepentingan rakyat," lanjut Amien. (Kompas.com)
KPK Harus Berani Minta Maaf
Sebagai lembaga hukum yang kredibel. Membawa harapan seluruh rakyat. KPK harus berani mempertanggungjawabkan segala implikasi tuduhannya secara hukum. KPK tidak hanya harus berdiri sebagai penegak yang hebat di saat mendakwa dan menuntut seseorang bersalah, tetapi juga berani menerima risikonya. Artinya, segala ucapan KPK di persidangan tentang seseorang yang dituduhnya, yang telah serta-merta merusak harkat dan martabat tetapi tidak dianggap benar atau relevan oleh Majelis Hakim, maka KPK harus berani melakukan rahbilitasi saat itu juga. JPU KPK seharusnya, pada hari ini juga, berani langsung berdiri di hadapan publik dan media untuk menyampaikan permohonan maaf kepada Amien Rais dan keluarganya.
Bayangkan, hampir separuh bulan sejak KPK mencatut nama Amien Rais menerima aliran dana alkes itu, tiada henti-hentinya hujatan terarah kepada Amien Rais. Entah siapa yang mendesainnya? Hamum Rais, putri Amien Rais, sampai harus saling sahut secara kasar dengan Gunawan Mohammad yang telah dianggap salah kaprah mengambil gambar Amien Rais dengan embel kata-kata tak elok. Belum lagi pro dan kontra di media sosial yang sangat menyita waktu dan pikiran keluarga Amien Rais untuk meluruskannya. Saya yakin, keluarga Amien Rais sangat kecewa dan terpukul, meskipun tidak menuntut KPK untuk meminta maaf. Tatapi demi rasa keadilan, dan pertanggungjawaban yang etis, sekali lagi KPK harus tergugah dan berani meminta maaf.
Etika penegakan hukum yang ideal seperti permohonan maaf, memang harus dapat pula diupayakan menjadi budaya penegakan hukum, terhadap seseorang yang merasa dirusak namanya baiknya, sekecil apapun. Sehingga wajah penegakan hukum di negeri kita akan tampak cerah dan terlihat indah. Singkatnya, berani menyebut dan berani meminta maaf. Berani berbuat dan bertanggungjawab. Sehingga publik bisa menilai memang tiada maksud lain. Meminjam kata bijak: tak ada udang di balik batu. Wallahu'alam.
Berita ini pernah dimuat di http://www.kompasiana.com.
Berita ini pernah dimuat di http://www.kompasiana.com.
Post a Comment