Ketua DPR RI Setya Novanto mengucapkan selamat dan harapannya di peringatan Hari Kartini, Jakarta (21/04/2017) |
JAKARTA - Ketua Dewan Perwakilan
Rakyat Setya Novanto mengatakan pihaknya akan mengkaji Pasal 156 dan 156
huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terkait penodaan agama.
“Ya ini pasal yang tentu apapun yang menjadi
persoalan-persoalan DPR akan terus mengkaji hal-hal yang memang
bertentangan,” ujar Novanto di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu
(10/5/2017).
Pernyataan Novanto tersebut menanggapi adanya pernyataan
dari kalangan lokal, bahkan internasional bahwa pasal penodaan agama
mengancam demokrasi di Indonesia.
“Yang penting bagi Indonesia adalah mengenai kebebasan
ini diatur sebaik-baiknya. Dan ini adalah negara demokrasi dan tentu
kita harapkan semuanya bisa berjalan dengan apa yang dikehendaki,” kata
Novanto.
Sebelumnya, Gerakan Masyarakat untuk Demokrasi (Gema Demokrasi) menilai pemerintahan Presiden Jokowi sudah melecehkan demokrasi dan keadilan lewat rentetan peristiwa yang terjadi belakangan ini.
Pemerintahan Joko Widodo dianggap tunduk pada kekerasan dan tekanan massa dalam menegakkan hukum.
“Saat negara tidak lagi tunduk dan taat pada prinsip rule of law pada saat yang sama negara sedang menghancurkan bangunan demokrasi yang ada,” ujar salah satu aktivis Gema Demokrasi, Pratiwi Febry, dalam keterangan tertulis, Rabu (10/5/2017).
Gerakan yang diikuti lebih dari 80 organisasi masyarakat
ini mengecam tiga tindakan yang dianggap melecehkan demokrasi dan
bentuk ketidakadilan.
Pertama terkait penjatuhan vonis terhadap Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Dalam kasus Basuki alias Ahok, Gema Demokrasi menilai bahwa pasal penistaan agama
yang digunakan hakim adalah pasal anti-demokrasi yang tidak lagi
kontekstual untuk diimplementasikan pada negara demokrasi seperti
Indonesia.
Mereka beralasan pasal 156 a KUHP ini lahir di masa
demokrasi terpimpin yang anti-demokrasi dan dianggap pasal karet yang
tidak memenuhi asas lex certa dan lex scripta dalam asas legalitas pada
hukum pidana.
“Hal tersebut mengakibatkan penafsiran terhadap
pemenuhan unsur-unsur pasal sangat subyektif dan akhirnya melahirkan
ketidakpastian hukum bagi masyarakat Indonesia,” ujarnya.
Pasal penodaan agama kerap dijadikan alat represi
kelompok mayoritas kepada minoritas. Pola yang sama kerap terjadi sejak
aturan itu berlaku yaitu berupa tekanan massa pada setiap penggunaan
pasal penodaan agama. “Sehingga putusan peradilan tidak lagi mengacu
pada hukum yang objektif dan imparsial melainkan tunduk pada tekanan
massa (rule by mob/mobokrasi),” tuturnya
Post a Comment